Dosen FTP Ajak Warga Jatisari Kelola Sampah 

    Dosen FTP Ajak Warga Jatisari Kelola Sampah 

    MALANG - Masyarakat Desa Jatisari, Kabupaten Malang, memiliki permasalahan sampah yang cukup serius. Adanya larangan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur terkait lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang terlalu dekat dengan jalan raya membuat warga desa membuang sampah di sungai atau dibakar, tanpa dilakukan pemisahan sampah organik dan anorganik terlebih dahulu.

    Berangkat dari permasalahan tersebut, tim KKN OPF Universitas Brawijaya menginisiasi pengolahan sampah dengan produktif. Tim yang diketuai oleh Dr. Siti Asmaul Mustaniroh, STP, MP dari Fakultas Teknologi Industri Pertanian ini memanfaatkan Black Soldier Fly untuk mengolah sampah organik dan dapat digunakan untuk pakan ternak.

    “Maggot BSF yang sudah di panen dapat digunakan sebagai makan ternak, karena kandungan asam amino dan protein mencapai 40 hingga 50 persen. Budidaya ini sendiri sudah lazim dilakukan karena mudah dikerjakan secara massal”, jelas Asmaul, Rabu (28/9/2022).

    Kegiatan ini diawali dengan adanya sosialisasi bank sampah yang dilakukan oleh Ibu Iin sebagai pengurus bank sampah di Desa Pendem, Kota Batu, Malang. Sosialisasi ini dilakukan agar masyarakat Desa Jatisari melakukan aktivitas pemilahan sampah, baik organik maupun anorganik hingga dapat menekan jumlah sampah serta pendapatan masyarakat semakin meningkat.

    Untuk budidaya maggot, diawali dengan penyiapan 52 gram telur lalat. “Proses budidaya maggot diawali dengan pembuatan media penetasan telur dalam wadah plastik. Media yang digunakan yaitu dedak yang dicampurkan dengan air agar dedak tetap dalam kondisi lembab. Penambahan air pada dedak dilakukan 2 hari sekali agar tetap dalam kondisi lembab. Telur-telur tersebut diletakkan diatas penampang yang terbuat dari kawat yang memiliki pori-pori kecil dengan dilapisi tisu agar telur tidak bersentuhan langsung dengan media karena telur akan mati. Proses penentasan telur berlangsung selama 3-5 hari”, jelas Asmaul.

    “Baby Maggot” ialah maggot yang baru saja menetas dan jatuh kedalam media untuk bertahan hidup. Baby maggot berkembang selama kurang lebih 7 hari setelah masa penetasan telur berlangsung. Lalu baby maggot yang sudah berukuran 3-4 cm dipindahkan dalam media pembesaran.

    “Media pembesaran menggunakan rak dari kayu. Pada proses ini, dibutuhkan sampah organik sebagai pakan maggot untuk berkembang. Sampah organik yang digunakan biasanya berasal dari sampah dapur. Sampah-sampah tersebut dicacah atau dihaluskan terlebih dahulu agar dapat dicerna oleh maggot”, imbuh dosen Departemen Teknologi Industri Pertanian ini.

    “Dalam satu tempat penetasan yang berisi 2 gram telur, membutuhkan 2 kilogram media pembesaran Sedangkan pada saat pembesaran maggot, untuk 1 kg maggot dibutuhkan 4 kg sampah organik sebagai pakan maggot. Maggot setelah berumur 15-20 hari dapat dipanen.

    Proses panen maggot dilakukan dengan menggunakan ayakan senderhana. Maggot yang sudah dipanen dapat dijual dan dijadikan sumber protein untuk pakan ternak sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat Desa Jatisari”, imbuhnya.

    Hasil dari kegiatan KKN OPF yaitu dengan adanya teknologi budidaya maggot yang sederhana dengan biaya yang rendah ini dapat memproduksi 150 kg maggot yang dijadikan alternatif dalam mengolah sampah organik secara sehat dan ekonomis serta untuk meningkatkan pendapatan dari masyarakat Desa Jatisari. (*)

    malang
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    Lakukan Ini Jika Belum Ada Ide Menulis Artikel

    Artikel Berikutnya

    Al-Khanif Berbagi Tips Review Substansi...

    Komentar

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Hendri Kampai: Swasembada Pangan dan Paradoks Kebijakan
    Hendri Kampai: Negara Gagal Ketika Rakyat Ditekan dan Oligarki Diberi Hak Istimewa
    Hendri Kampai: Pemimpin Inlander Selalu Bergantung pada Asing
    Hendri Kampai: Harta Karun Indonesia, Jangan Sampai Jatuh ke Tangan yang Salah!
    Mengapa Finlandia dan Denmark Lebih Bahagia Daripada Amerika Serikat

    Tags